Faktababel.id, NASIONAL – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Dr. Suharyanto, menjadi penceramah utama dalam Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XXVI Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI. Kegiatan tersebut berlangsung di Auditorium Gadjah Mada, Jakarta Pusat, pada Jumat (31/10/2025). Dalam kesempatan ini, Kepala BNPB memaparkan konsep strategis mengenai Strategi Penanggulangan Bencana BNPB dan Ketahanan Nasional.
Dalam paparannya yang berjudul “Konsep Penanggulangan Bencana Alam dalam Mendukung Keamanan Nasional yang Kokoh”, Suharyanto menekankan bahwa Risiko Bencana Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi. Indonesia tercatat sebagai satu dari 35 negara dengan tingkat risiko bencana tertinggi di dunia. Ia menjelaskan, kondisi geografis dan geologis membuat sebagian besar wilayah Indonesia berada di jalur rawan bencana, baik bencana hidrometeorologi, geologi, maupun nonalam.
Data Positif: Korban Jiwa Turun Hingga 93 Persen
Meskipun Risiko Bencana Indonesia sangat tinggi, Suharyanto memaparkan data positif yang menunjukkan keberhasilan penanganan bencana. Menurut data yang disampaikannya, pada periode 2021–2025 terjadi penurunan yang sangat signifikan, baik pada jumlah korban jiwa maupun kerugian ekonomi akibat bencana.
Berikut rincian penurunan yang tercatat:
- Penurunan jumlah korban jiwa sebesar 93,49 persen.
- Penurunan kerugian ekonomi akibat bencana sebesar 79,76 persen.
Suharyanto menegaskan bahwa data ini membuktikan adanya peningkatan efektivitas dalam Strategi Penanggulangan Bencana BNPB serta kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat.
Strategi Penguatan Resiliensi Bangsa
Kepala BNPB juga memaparkan berbagai upaya strategis yang telah dan sedang dilakukan BNPB untuk memperkuat ketahanan nasional dalam menghadapi bencana. Upaya tersebut antara lain melalui:
- Program Desa Tangguh Bencana (Destana).
- Pembangunan sistem peringatan dini multi-bahaya (Multi-Hazard Early Warning System/MHEWS).
- Pelaksanaan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) untuk mengantisipasi bencana hidrometeorologi.
Selain itu, penguatan sinergi antarinstansi, peningkatan kapasitas daerah, dan kolaborasi internasional juga menjadi bagian penting dalam membangun resiliensi bangsa. Suharyanto menyoroti berbagai pengalaman penanganan bencana besar, mulai dari Tsunami Aceh 2004 hingga erupsi Gunung Lewotobi 2025, sebagai pelajaran berharga.
Ia menegaskan bahwa mitigasi struktural dan nonstruktural, serta penataan ruang berbasis risiko bencana, menjadi langkah penting agar kejadian serupa tidak menimbulkan korban besar di masa depan.
“Ketangguhan dalam menghadapi bencana bukan hanya tentang kesiapan teknis, tetapi juga tentang mental, solidaritas, dan kepemimpinan yang kokoh di setiap lapisan masyarakat,” tegas Suharyanto, mengajak seluruh elemen bangsa untuk memperkuat budaya sadar bencana sebagai bagian dari ketahanan nasional.
(*Drw)













